Selasa, 18 Juni 2013

Sepenggal Kisah Masa Lalu (Repost)


“VANOOO….tungguin…!!!” teriak seorang gadis kecil dari kejauhan.
Gadis kecil itu berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Napasnya terengah-engah karena mengejar anak lelaki yang bernama Vano.
Yang dipanggil tetap cuek. Vano terus berlari sampai ke atas bukit.
“Cha, sini deh…!” seru Vano pada gadis kecil itu.
Gadis kecil itu memonyongkan bibirnya. Kesal terhadap sikap Vano yang suka seenaknya sendiri. Tapi toh akhirnya gadis kecil itu menuruti ajakan Vano untuk naik ke atas bukit.
“Kamu tuh suka seenaknya sendiri ya ninggalin aku!” omel gadis kecil itu.
“Salah siapa kamu jalannya kayak keong gitu?” jawab Vano asal.
Gadis kecil itu menatap Vano dengan tatapan kesal.
“Udah…nggak usah ngambek gitu! Malu tuh diliatin sama bintang.” Vano menunjuk ke langit.
Gadis kecil itu menatap langit dengan kagum.
“Wah…bintangnya banyak banget ya, Van?” seru gadis itu girang.
“Bagus kan?”
“Iya, bagus banget!”
“Duduk, yuk!” ujar Vano yang kemudian duduk di atas rerumputan. Gadis kecil itu pun mengikuti.
Suasana hening sejenak. Mereka sama-sama diam menikmati keindahan malam itu. Bintang-bintang bertaburan di langit luas. Di bawah, mereka juga dapat melihat cahaya lampu dari hamparan rumah -rumah penduduk. Suara jangkrik pun ikut menghiasi malam itu.
“Vano…kamu pilih bintang yang mana?” tanya gadis kecil itu memecah keheningan.
“Aku pilih yang itu tuh, yang paling terang.” Vano menunjuk salah satu bintang yang paling terang.
“Kok Vano pilih yang itu sih? Itu kan punya Icha.” Sahut gadis kecil itu nggak mau kalah.
“Ya udah...biar adil, gimana kalo bintang yang paling terang itu jadi milik kita berdua?”
Gadis kecil itu mengangguk, tanda kalau dia setuju dengan usul Vano.
“Eh, ada bintang jatuh tuh. Cepet kita bikin permohonan!” ujar Vano sambil menunjuk ke arah bintang jatuh.
Gadis kecil itu pun mengikuti. Wah…Vano memang hebat. Bisa membuat gadis kecil itu selalu menuruti apa kata Vano. Vano dan gadis kecil itu sama-sama memejamkan matanya. Dalam hati, mereka membuat suatu permohonan.
“Gimana? Udah belum?” tanya Vano setelah ia membuka matanya.
Gadis kecil itu membuka matanya perlahan, lalu mengangguk. “Udah.”
“Icha minta apa?”
“Icha minta…biar Icha sama Vano bisa sama-sama terus, sampai kita menikah.” Sahut gadis kecil itu dengan polosnya.
“HUAHAHAHA…….!!!!” Vano tertawa keras.
“Kok kamu ketawa sih?”
“Habis permintaan kamu lucu sih….siapa juga yang mau nikah sama cewek cerewet kayak kamu!” sahut Vano setelah tawanya reda.
Gadis kecil itu memanyunkan bibirnya. “Jadi Vano nggak mau nikah sama aku?”
“NGGAK!”
“Iiih….Vano nyebelin, nyebelin, nyebelin…!!!” Gadis kecil itu memukul-mukul lengan Vano.
“Aduh, iya….ampun, ampun….! Vano mau kok…” jawab Vano sambil berusaha menghindari pukulan gadis kecil itu.
Gadis kecil itu menghentikan pukulannya dan tersenyum puas, “Vano tadi minta apa?”
Vano terdiam dan raut wajahnya mendadak berubah.
“Vano kenapa? Kok diem?”
“Aku…aku minta, kalo suatu saat…kita bisa ketemu lagi, Cha…”
Gadis kecil itu mengerutkan keningnya. “Suatu saat? Memangnya kita nggak akan ketemu lagi?” tanya gadis kecil itu. Mendadak muncul perasaan takut di hatinya.
Vano menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Vano nggak berani menatap mata gadis kecil itu.
“Besok, besok...Vano kembali ke Manado, Cha. Vano mau tinggal sama Papa – Mama Vano di sana.”
Mata gadis kecil itu berkaca-kaca. “Jadi Vano mau pergi? Vano mau ninggalin Icha?”
Vano menunduk, “Maaf, Cha.” Hanya kata itu yang terlontar dari mulut Vano.
Butiran bening mulai keluar dari mata gadis kecil itu hingga membasahi pipinya.
“Cha…Icha kok malah nangis?” Vano berusaha menghapus air mata gadis kecil itu dengan tangannya.
“Vano jangan pergi!” rengek gadis kecil itu manja.
“Icha jangan sedih lagi ya. Vano punya sesuatu buat Icha.” Vano mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, “Vano punya dua bintang. Yang satu buat aku, yang satunya lagi buat Icha.” Lanjut Vano yang kemudian memberikannya pada gadis kecil itu.
Gadis kecil itu menerimanya.
“Kalo Icha lagi kangen sama Vano, Icha bawa aja bintang ini ke tempat yang gelap. Nanti bintangnya bisa nyala. Anggap aja, kalo Icha lagi sama Vano.” Jelas Vano.
Gadis kecil itu memandang bintang dari Vano lekat-lekat.
“Icha percaya ya sama Vano, walaupun kita jauh…tapi Icha selalu ada di hatinya Vano.”
Gadis kecil itu tersenyum, “Vano juga akan selalu ada di hati Icha.”



10 tahun kemudian…

Siang itu, Ify dan Mamanya pergi jalan-jalan ke mall.  Sebenarnya tujuan utama Ify adalah untuk membeli sesuatu yang sudah diincarnya dua hari yang lalu. Ify sampai rela membongkar celengannya hanya untuk mendapatkan barang itu. Dan Ify berharap kalo barang itu masih ada dan belum dibeli oleh orang lain.
“Fy, Mama mau liat-liat baju dulu ya. Kamu mau ikut Mama atau langsung cari sepatunya?” tanya Mama Ify.
“Mau langsung cari sepatunya aja deh, Ma. Takut keburu diambil orang.” Jawab Ify sambil berlalu meninggalkan Mamanya.
“Mudah-mudahan masih ada…” gumam Ify sambil terus mencari.
Mata Ify langsung berbinar saat melihat sepatu yang diinginkannya ternyata masih terpajang manis di salah satu rak. Dengan cepat Ify menghampiri rak itu. Tapi…SIAL! Saat tangan Ify hendak mengambil sepatu itu, sudah ada tangan lain yang memegangnya lebih dulu. Dan secara nggak sengaja, tangan Ify malah menyentuh tangan itu.
Pandangan Ify beralih  ke wajah seseorang yang menjadi saingannya. Ternyata seorang cowok. ‘Manis!’ pikir Ify. Cowok itu pun menatap Ify. Sesaat mereka saling berpandangan.
1 detik…
2 detik…
3 detik…
‘Sadar, Fy…sadar! Yang terpenting sekarang ini bukanlah cowok itu, tapi SEPATU!’
Ify tersadar dari lamunannya dan segera kembali ke alam nyata.
“Bisa nggak, lepasin tangan lo dari tangan gue?” tanya cowok itu dingin.
Buru-buru Ify melepaskan tangannya dari tangan cowok itu.
“Oh…sorry…tapi gue mau ambil sepatu itu.” Jawab Ify sedikit gugup.
“Gue duluan yang pegang, jadi sepatu ini punya gue.”
Ify melotot. “Nggak bisa gitu dong! Gue udah liat sepatu ini dua hari yang lalu dan gue berniat mau beli sepatu ini sekarang!” Ify nyolot.
“Oh ya? Kalo emang lo liatnya dari dua hari yang lalu, kenapa baru lo beli sekarang?” cowok itu ikutan nyolot.
Ify mulai emosi. ‘Cakep cakep, tapi ngeselin!’
“Heh! Lo itu kan cowok, ngalah dikit dong sama cewek! Lagian ngapain sih lo beli-beli sepatu cewek? Banci lo!”
“Sembarangan banget sih lo kalo ngomong? Itu urusan gue, duit juga duit gue. Kalo lo mau sepatu ini, makan nih sepatu! Gue bisa cari lagi di tempat lain yang lebih BAGUS dan lebih MAHAL dari sepatu ini!” kata cowok itu sambil memberi penekanan pada kata yang di capslock.
Cowok itu melemparkan sepatu itu ke arah Ify. Ify menangkapnya.
“Kasar banget sih lo jadi cowok? Asal lo tau aja ya, gue udah nggak ada minat buat beli sepatu ini.” Ify menaruh kasar sepatu itu ke rak.
“TERSERAH!” Cowok itu membalikan badannya dan berlalu pergi entah ke mana.
“Dasar cowok sombong! Nyebelin!” teriak Ify. Tapi cowok itu cuek dan tidak menoleh sedikit pun.
Ify hanya terdiam dan menatap cowok itu dengan kesal. Setelah cowok itu hilang dari pandangannya, Ify menghela napas dan kembali menatap sepatu itu. Rasa keinginan untuk memilikinya hilang sudah. Sepatu yang awalnya sudah dimpi-impikannya dari kemarin, menjadi sepatu yang dibencinya. Itu semua gara-gara cowok itu. Ingat ya! GARA-GARA COWOK ITU!
“Gimana, Fy? Udah dapet sepatunya?” pertanyaan Mama membuat Ify sedikit terkejut.
“Ify nggak jadi beli, Ma.” Jawab Ify malas-malasan.
“Lho, kenapa? Bukannya kamu pengen banget sepatu itu?”
“Nggak pa-pa kok, Ma. Males aja. Udah yuk, kita pulang aja!”
Mama hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya yang mendadak aneh.


Ify menaruh tas sekolahnya ke meja dengan kasar. Tanpa menyapa dua sahabatnya, Ify langsung duduk di bangkunya sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Shilla dan Sivia – dua sahabat Ify, hanya berpandangan melihat sikap Ify yang aneh. Tidak seperti biasanya. Karena biasanya Ify selalu menyapa dua sahabatnya saat dia sudah sampai di kelas.
“Ify kenapa, Shil?” tanya Sivia pelan.
Shilla hanya mengangkat bahu. “Kita tanya langsung aja ke orangnya.” usulnya.
Shilla beranjak dari bangkunya dan beralih duduk di bangku sebelah Ify yang memang kosong. Bangku itu sebelumnya milik Nova. Tapi karena Nova pindah sekolah, sekarang bangku itu menjadi kosong.
Sivia membalikan badannya agar bisa duduk berhadapan dengan Ify.
“Kenapa lo, Fy? Kusut banget muka lo?” tanya Shilla.
“Gue lagi kesel.” Jawab Ify datar.
“Kesel kenapa?” giliran Sivia yang bertanya.
“Kalian masih inget kan kalo dua hari yang lalu kita bertiga jalan-jalan ke mall?” Ify balik tanya.
Shilla dan Sivia mengangguk.
“Dan kalian juga masih inget kan sama sepatu yang gue pengen kemarin?” tanya Ify lagi.
“Iya, inget. Kenapa? Udah lo beli?” tanya Shilla.
“Boro-boro beli! Berantem sama orang, iya!” jawab Ify kesal.
“Beli sepatu sama berantem? Kayaknya nggak ada hubungannya deh, Fy.” Kata Sivia heran.
“Iya, Fy. Lo ceritanya yang jelas dong!” tambah Shilla.
Ify menghela napas. “Kemarin tuh gue udah berniat mau beli sepatu itu. Tapi di saat gue udah mau ambil sepatunya, ternyata ada seorang cowok yang mau beli sepatu itu juga. Kita sempet rebutan, sampai akhirnya kita berantem.” Jelas Ify.
“Terus akhirnya siapa yang beli sepatu itu?” tanya Shilla.
“Nggak ada!”
“Capek deh…” seru Shilla dan Siva bersamaan.
“Habisnya cowok itu ngeselin banget, nggak mau ngalah sama cewek!”
“Emangnya yang pegang sepatu itu duluan siapa?” tanya Sivia.
“Ehm…sebenernya…cowok itu sih yang pegang duluan…” ucap Ify sambil nyengir.
“Gimana sih lo, Fy? Kalo gitu harusnya lo yang ngalah dong. Biar gimana pun juga tetep dia duluan yang pegang.” Ujar Shilla.
“Lo kok jadi belain dia sih?”
“Bukan belain, Fy…Cuma kasih pendapat aja.”
Bel masuk berbunyi. Mengentikan pembicaraan di antara mereka. Shilla memutuskan untuk kembali ke bangkunya, sementara Sivia kembali menghadap ke depan.
Selang lima menit, Pak Duta, guru Matematika sekaligus merangkap sebagai wali di kelas Ify, masuk ke kelas. Semua murid terdiam. Nggak ada yang berani sama Pak Duta, soalnya Pak Duta terkenal sebagai Mr.killer di sekolah.
Tapi pagi itu Pak Duta nggak dateng sendirian. Melainkan bersama seorang cowok. Ify ternganga melihat kedatangan cowok itu. Ternyata cowok itu adalah cowok yang sama dengan cowok yang berebutan sepatu dengannya kemarin.
“LO?? Ngapain lo di sini?” tanya Ify ketus.
Kontan membuat semua seisi kelas menatap ke arah Ify. Termasuk Pak Duta.
“Apa ada masalah, Fy?” tanya Pak Duta.
“Ehm…nggak pa-pa kok, Pak.” Jawab Ify akhirnya. Ify lebih memilih untuk dian dan menatap cowok itu dengan kesal.
“Pagi, anak-anak…!” sapa Pak Duta.
“Pagi, Paaak…!” jawab semua murid kompak.
“Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, bapak akan memperkenalkan seseorang kepada kalian. Yang berdiri di samping bapak ini, akan menjadi teman baru kalian.” Ucap Pak Duta yang kemudian menatap ke arah cowok itu, “Sekarang…kamu bisa perkenalkan diri kamu.” Lanjut Pak Duta pada cowok itu.
Cowok itu mengangguk dan tersenyum. Lalu menatap seisi kelas sambil tersenyum. Kontan membuat semua cewek di kelas itu meleleh melihat senyuman cowok itu. Tapi tidak bagi Ify.
‘Dasar tukang tebar pesona!’ batin Ify.
“Selamat pagi, temen-temen! Nama saya Mario Stevano Aditya Haling. Kalian bisa panggil saya Rio.” Ucap cowok itu yang ternyata bernama Rio.
‘Oh…jadi nama cowok nyebelin itu Rio?’ kata Ify dalam hati.
“Bapak rasa perkenalannya sudah cukup. Nanti bisa kalian lanjutkan lagi.” Kata Pak Duta sambil membetulkan letak kacamatanya. “Rio…kamu bisa duduk bersama Ify, di bangku yang masih kosong.” Lanjut pak Duta.
Ify melotot. “Maaf, Pak….masa dia duduk sama saya sih?” Ify nggak terima.
“Nggak ada pilihan lain lagi, Fy. Bangku yang masih kosong tinggal satu kan? Jadi…Rio duduk sama kamu.”
“Tapi, pak…”
“Kamu masih mau ikut pelajaran bapak atau tidak?” tanya pak Duta dengan wajah sangarnya.
Ify terdiam dan hanya bisa menghela napas. Sementara Rio berjalan menuju meja Ify dan langsung duduk di sebelah Ify dengan cuek.
“Ngapain sih, lo mesti sekolah di sini?” tanya Ify jutek.
“Sekolah ini bukan punya nenek lo kan? Jadi siapa pun berhak sekolah di sini, termasuk gue!” balas Rio santai.
Akhirnya dengan pasrah Ify menerima kenyataan untuk duduk bersama Rio.


Malam itu, Ify berada di ruang tengah sambil membaca-baca majalah remaja yang baru saja dibelinya. Tiba-tiba Mama datang dan langsung duduk di sebelah Ify.
“Mama dari mana?” tanya Ify.
“Dari butik.”
“Ngapain, Ma?”
“Ya beli baju dong, masa beli sayur?”
Iya, Ify tau…maksud Ify, beli baju buat siapa?”
“Buat kamu. Cobain nih!” ucap Mama sambil memberikan satu kantong belanjaannya pada Ify.
Ify menerimanya dan mengambil isinya dari kantong belanjaan itu. Ternyata sebuah gaun soft pink selutut dengan motif bunga-bunga. Gaun yang sangat cantik.
Ify ternganga.
”Bagus banget, Ma. Tapi…buat apa Mama beliin gaun buat Ify? Ultah Ify kan masih lama.”
Mama tersenyum. “Sabtu malam besok, ada rekan bisnis Papa yang ngajakin makan malam. Kita semua harus datang.”
“Harus, Ma? Ify juga?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Ify males ikut ah, Ma…Pasti acaranya ngebosenin deh.”
“Eh…nggak boleh gitu! Pokoknya kamu harus tetep ikut. Udah…kamu cobain gaunnya dulu sana!”
Ify beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamarnya. Bukannya langsung mencoba gaun itu, Ify malah meletakkan gaun dari Mamanya ke tempat tidurnya. Ify menarik meja belajarnya dan mengambil sebuah kotak. Di dalamnya terdapat sebuah benda kesayangannya yang menjadi kenangan di masa lalunya.
Lalu Ify mematikan lampu kamarnya, menatap benda itu yang terlihat bersinar.
“Van, gue kangen sama lo…”
Ify membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan mendekapkan benda itu ke dadanya. Berharap agar seseorang yang sangat dirindukannya bisa hadir dalam mimpinya.


Jam istirahat di kantin…
“Kenapa sih, Fy…kayaknya lo nggak suka banget sama Rio?” tanya Sivia sambil mengaduk-aduk es tehnya dengan sedotan.
“Gue kan udah bilang kalo Rio adalah cowok nyebelin yang rebutan sepatu sama gue di mall waktu itu.”
“Iya…tapi masa Cuma gara-gara hal sepele gitu aja lo jadi benci banget sama dia?” tanya Shilla.
“Pokoknya gue udah sebel banget sama dia. Titik. Eh…malah sekarang gue sekelas sama dia, sebangku pula!”
“Jodoh kali!” celetuk Sivia asal.
“What?? Jodoh?? Gue sama Rio?? Nggak banget deh kalo gue berjodoh sama dia.”
“Inget loh, Fy…benci sama cinta tuh bedanya tipis banget.” Kata Shilla.
“Tapi…gue nggak mungkin jatuh cinta sama Rio.” Sahut Ify yakin.
“Kita liat aja nanti!” kata Shilla.
“Ada apaan nih, ngomong cinta-cintaan segala?” tanya Alvin tiba-tiba. Alvin datang bersama Gabriel ke kantin. Alvin mengambil posisi duduk di sebelah Sivia, sementara Gabriel di sebelah Shilla.
“Lo lagi jatuh cinta, Shil? Gue mau di kemanain?” tanya Gabriel nggak nyambung.
“Dimasukin ke kantong plastik, terus dibuang ke tempat sampah deh…” jawab Shilla asal membuat yang lain tertawa.
“Tega bener lo sama cowok sendiri, Shil?” ucap Sivia sambil geleng-geleng kepala.
“Iya tuh…masa cowok ganteng kayak gue ditaro di tempat sampah?” sahut Gabriel nggak terima.
“Ganteng dari Hongkong?” celetuk Alvin.
“Bukan dari Hongkong, tapi ganteng dari lahir!” sahut Gabriel lagi. Tapi nggak ada lagi yang peduli dengan ucapan Gabriel.
Ify, Shilla & Sivia kembali melahap bakso mereka.
“Eh, Vi…suapin gue dong…! Gue laper banget nih…” ucap Alvin manja pada Sivia.
“Makan sendiri, nggak pake suap-suapan!” kata Sivia cuek.
“Nggak pa-pa lagi, Vi. Lo pinjem sekop deh sama tukang kebun sekolah buat nyuapin Alvin tuh…” kata Gabriel.
“Sialan lo!” Alvin menoyor Gabriel. Gabriel terkekeh.
Ify, Shilla dan Sivia lagi-lagi tertawa. Setelah itu, mereka sibuk dengan pasangan masing-masing. Shilla dengan Gabriel dan Sivia dengan Alvin. Sementara Ify? Ify sendirian.
“Gue cuma jadi obat nyamuk nih…?” tanya Ify memelas dan membuat yang lain menoleh.
“Hehehe…sorry deh, Fy. Makanya lo cari cowok dong…” usul Sivia.
“Iya, bener tuh, Fy. Sama Cakka aja! Dia kan udah lama suka sama lo.” Tambah Gabriel.
“Kalian apaan sih? Gue masih belum pengen pacaran kok.” Jawab Ify.
“Apa gara-gara cinta pertama lo itu?” tanya Sivia.
Ify terdiam.
“Fy, sampe kapan sih lo mesti ngarepin cowok di masa lalu lo itu? Lo juga nggak tau kan, sekarang dia di mana? Kabarnya gimana? Dan…belum tentu juga kan, kalo dia masih inget sama lo?” kata Shilla.
“…”
“Lo nggak bisa gini terus dong, Fy. Apa lo mau, terus-terusan hidup dalam bayang-bayang masa lalu lo?” tanya Shilla lagi.
“Maksud lo…apa gue harus ngelupain semuanya?” tanya Ify.
“Gue nggak minta lo buat ngelupain semuanya. Tapi lo harus berpikir realistis dong, Fy. Menunggu seseorang yang nggak pasti, itu hanya akan membuat lo kecewa, Fy. Kita sebagai sahabat lo, Cuma ingin yang terbaik buat lo.” Lanjut Shilla.
Yang lain ikut mengangguk.
“Bener juga apa kata Shilla, Fy. Lo harus pikirin buat masa depan lo.” Tambah Sivia.
Ify memaksakan diri untuk tersenyum. “Iya, deh…makasih ya, buat perhatian kalian.”
“Ya udah, sekarang kita habisin dulu makanannya, keburu bel masuk.” Kata Sivia.
“Hmm…mendingan gue pindah meja aja deh. Males ngeliatin lo pada mesra-mesraan gitu. Hihihi…” kata Ify yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Ify mengambil satu mangkok bakso dan segelas es teh miliknya untuk membawanya ke meja lain. Tapi saat Ify membalikkan badannya, tiba-tiba dia menabrak seseorang. Kuah bakso dan air es teh itu sebagian membasahi baju seseorang yang ditabrak Ify tadi. Ify terperangah…
“Aduh…maaf, maaf, gue nggak sengaja…” kata Ifu merasa bersalah.
“Woi! Lo punya mata nggak sih? Makanya, mata tuh jangan ditaro dengkul!” bentak cowok itu.
Ify menatap cowok itu, “Rio?”
Rio menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
“Gue kan udah bilang maaf.”
“Gue nggak butuh maaf. Yang gue mau, lo bersihin baju gue sekarang!”
Ify menatap Rio marah dan segera mengambil tisu dari sakunya. Ify mulai membersihkan noda di baju Rio. Mendadak jantung Ify berdetak kencang. Nggak biasanya Ify merasakan seperti ini bila berada di dekat cowok. Tanpa sengaja, mata Ify dan mata Rio bertemu. Sesaat mereka berpandangan.
‘Tatapan mata itu…’ batin Ify.
1 detik…
2 detik…
3 detik…
4 detik…
“EHEEEMMM….!” Gabriel berdehem keras.
Ify dan Rio tersentak kaget. Ify menunduk malu, untuk menyembunyikan pipinya yang sudah merona.
“Nih, lo bersihin sendiri!” Ify memberikan sebungkus tisunya pada Rio dan langsung berlari keluar kantin. Ify malu banget saat seisi kantin menatap ke arahnya.


“Ify...udah siap belum?” tanya Mama dari balik pintu kamar Ify.
“Iya, sebentar lagi kok, Ma.” Jawab Ify setengah berteriak.
“Ya udah, Mama sama Papa tunggu di bawah ya...”
“Iya, Maaa...”
Ify kembali menatap dirinya di cermin. Dia memakai gaun soft pink pemberian Mamanya kemarin. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dan dibuat sedikit ikal di bagian bawahnya. Lengkap juga dengan sepatu high heels yang senada dengan gaunnya.
Setelah puas dengan dandanannya, Ify keluar dari kamarnya dan segera menemui Papa-Mamanya yang sudah menunggu di lantai bawah.
“Ify udah siap nih, berangkat sekarang?” tanya Ify pada Papa-Mamanya.
Papa dan Mama menoleh. Menatap Ify dengan kagum. Membuat Ify menaikan alisnya.
“Papa sama Mama kenapa? Kok ngeliatin Ify kayak gitu? Apa...dandanan Ify aneh ya?” tanya Ify sembari menunduk untuk melihat penampilannya.
“Nggak kok, Fy. Tapi malam ini anak Papa keliatan cantik banget.” Ujar Papanya.
“Jadi Cuma malem ini aja? Biasanya jelek dong?” Ify ngambek.
Papa tertawa, “Biasanya juga cantik...tapi malem ini cantik banget.”
Ify tersenyum, “Iya dong...anak siapa dulu?”
“Berarti Mama nggak salah pilihin baju dong?” sela Mama.
“Iiiih...Mamaaaa....!!! Yang cantik tuh gaunnya atau Ify sih?”
“Cantik dua-duannya. Udah, udah...kita berangkat sekarang ya...” ucap Mama.


Keluarga Pak Haris – rekan bisnis Papa Ify, menyambut Ify dan keluarganya dengan sangat ramah.
“Fy, kenalin...ini teman lama Papa, namanya Oom Haris. Di sebelahnya istrinya, namanya Tante Alia.” Jelas Papa memperkenalkan pada Ify.
Ify tersenyum dan menjabat tangan Oom Haris dan Tante Alia.
“Oh...jadi ini yang namanya Ify. Ternyata cantik seperti Mama kamu.” Ujar Tante Alia sambil melirik ke arah Mama.
Ify dan Mamanya hanya tersenyum.
“Ah, tante...bisa aja!” sahut Ify.
“Oh ya, tante juga punya anak yang seumuran kamu juga. Sebentar ya, tante panggilin dulu.” Kata Tante Alia sembari beranjak dari tempat duduknya dan naik ke atas tangga.
Tak lama kemudian, Tante Alia turun dari tangga bersama seorang cowok. Ify menoleh dan terkejut...
“Rio?” tanya Ify tak percaya.
Rio pun tak kalah terkejutnya, “Ify?”
Orang tua Ify dan orang tua Rio saling berpandangan heran.
“Lho, kalian sudah saling kenal?” tanya Mama Ify.
“Kita satu sekolah, satu kelas, bahkan satu bangku, Ma...” jawab Ify malas-malasan.
“Wah...bagus dong...!” sahut Oom Haris, membuat Ify dan Rio mengerutkan keningnya.
“Bagus??” tanya Ify dan Rio bersamaan.
“Ehm, maksudnya....bagus dong kalo kalian sudah saling kenal...” lanjut Oom Haris.
Tak lama setelah itu, acara makan malam pun dimulai. Ify duduk tepat berhadapan dengan Rio. Sesekali Ify curi-curi pandang ke arah Rio. Harus Ify akui kalo malam ini Rio...ganteng banget! Dan beberapa kali pula Ify memergoki kalo Rio sedang menatapnya. Tapi saat mata mereka bertemu, Rio langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Pembicaraan antara orang tua Ify dan orang tua Rio pun berlangsung. Ify dan Rio lebih banyak diam.
“Yo, Fy...sebenarnya kami mengadakan makan malam ini, untuk membicarakan tentang rencana perjodohan kalian.” Kata Oom Haris yang sukses membuat Rio dan Ify tersedak. Membuat orang tua Rio dan Ify panik.
“Hati-hati makannya, Fy...” sahut Mama sambil memberikan minuman pada Ify.
Begitu pun dengan Tante Alia yang segera memberikan minuman pada Rio.
“Maaf ya, kalo membuat kalian kaget.” Ucap Tante Alia.
“Oom sama Papa kamu sudah bersahabat sejak SMA, Fy. Dulu kita pernah berjanji, kalo kita punya anak nanti, kita akan menjodohkan anak kita. Sampai akhirnya, sekarang kita menjadi rekan bisnis. Dan kebetulan, kalo anak Oom laki-laki dan anak Papa kamu perempuan yaitu kamu, Fy. Jadi...Oom sudah punya niat untuk menjodohkannya dengan kamu.” Jelas Oom Haris.
 “Tapi, Pa... Kenapa Papa nggak kasih tau Rio sebelumnya sih?” tanya Rio nggak terima.
“Iya, Oom, Pa...Lagian kita kan masih SMA.” Tambah Ify.
“Kita juga nggak akan cepet-cepet nikahin kalian kok. Kalian kan bisa tunangan dulu.” Ujar Papa Ify.
“Betul Fy, Yo... Sambil kalian mengenal satu sama lain, kalian selesaikan dulu pendidikan kalian sampai kuliah. Biar gimana pun, pendidikan kan tetep nomor satu.” Kata Mama Ify.
“Iya, baru setelah selesai kuliah, kalian bisa menikah...” tambah Tante Alia.
Ify dan Rio saling berpandangan. Tubuh mereka langung lemas mendengar keputusan orang tua mereka. Dan dengan pasrah menerima keputusan itu.
Ify menunduk sambil mengaduk-aduk makanan di hadapannya. Selera makannya mendadak hilang.
“Yo, kamu ajak Ify ke taman belakang ya. Mungkin kalian perlu bicara berdua.” Ujar Tante Alia.
Rio menghela napas dan menatap Ify.
“Yuk, Fy!” ajak Rio sambil beranjak dari tempat duduknya.
Ify berdiri dan mengikuti Rio sampai ke taman belakang. Lalu mereka memutuskan untuk duduk di gazebo.
Ify dan Rio sama-sama terdiam. Ify menatap langit. Langit malam itu tampak indah. Lengkap dengan perhiasan malam, seperti bulan dan bintang. Ify terpaku pada satu bintang yang paling terang.
‘Seandainya malam ini gue bisa ngeliat bintang bersama dia. Pasti gue akan ngerasa seneng banget. Tapi...malam ini gue harus duduk berduaan sama Rio. Hufft...’ batin Ify.
Ify berganti menatap Rio. Ternyata hal yang sama juga sedang dilakukan Rio. Rio pun sedang menatap langit. Merasa diperhatikan, Rio menoleh ke arah Ify.
“Kenapa lo liat-liat? Naksir sama gue?” tanya Rio pe-de.
“Pe-de banget sih lo?” sahut Ify cuek sambil mengalihkan pandangannya ke kolam renang.
“Huuufft.....kenapa sih gue harus dijodohin sama lo?? Dengan gue duduk satu bangku sama lo aja, itu udah jadi hal yang terburuk dalam hidup gue. Dan sekarang...gue harus terima kenyataan, kalo gue mau dijodohin sama lo. Haduuh....gue nggak bisa bayangin deh kalo nanti gue bakal tunangan sama lo, menikah sama lo, dan....punya anak dari lo?? Oh no! Malang bener nasib gue...” cerocos Ify.
“Heh, ngomong apaan sih lo? Siapa juga yang mau nikah sama cewek cerewet kayak lo?” sahut Rio kesal.
Ify tercekat dan menatap Rio kembali.
“Vano...” ucap Ify pelan yang membuat Rio menatapnya.
“Tadi lo bilang apa?” tanya Rio.
“Oh...ehm...nggak, nggak pa-pa kok.”
Kata-kata Rio barusan membawa Ify untuk mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu.
‘Apa Rio itu.....Ah, nggak mungkin! Mikir apa sih lo, Fy?’ batin Ify.
“Jadi....sekarang kita harus gimana?” tanya Ify setelah mereka lama terdiam.
“Mau lo gimana?” Rio balik tanya.
“Yang jelas, gue nggak mau dijodohin sama lo.”
“Sama. Gue juga nggak mau dijodohin sama lo.”
“Ya udah, sekarang kita bilang ke orang tua kita, kalo kita menolak perjodohan ini!”
“Ya nggak bisa gitu dong, Fy. Kita nggak mungkin ngomong sekarang.”
“Terus kita harus gimana?”
“Sementara kita ikutin dulu kemauan mereka. Kita jalanin aja dulu. Sambil kita ngomong pelan-pelan ke mereka.”
Ify terdiam dan memikirkan kata-kata Rio.
“Gimana?”
“Ya udah deh, terserah lo....”


Sepulang dari rumah Rio, Ify menuju balkon kamarnya. Ify kembali mengingat-ingat kejadian belakangan ini. Mulai dari pertemuannya dengan Rio di mall, sampai dengan rencana perjodohannya dengan Rio yang membuat Ify kaget.
Ify kembali menatap langit. Jutaan bintang masih terlihat di langit, termasuk satu bintang yang paling terang. Ify tersenyum...
“Bintang....tolong sampein sama Vano ya, kalo aku kangen sama dia...”


Sepulang sekolah, Ify nggak langsung pulang ke rumah. Dia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Suatu tempat yang selalu membuatnya tenang. Ya...Ify memang butuh waktu untuk menenangkan dirinya.
Atas bukit. Itulah tempat yang akan Ify tuju. Suasananya sejuk dan asri. Namun...tiba-tiba Ify menghentikan langkahnya saat matanya menangkap sosok seorang cowok yang sedang berdiri di atas bukit. Ify menatap lekat cowok itu dari belakang. Dan yang membuat Ify terkejut, ketika cowok itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ternyata sebuah bintang. Bintang yang sama seperti yang dimiliki Ify. Mata Ify mulai berkaca-kaca.
“Vano...”
Tanpa berpikir panjang, Ify langsung berlari ke atas bukit untuk menghampiri cowok itu. Ify memeluk cowok itu dari belakang. Membuat cowok itu kaget. Perlahan, cowok itu melepaskan tangan Ify yang sudah melingkar di perutnya. Cowok itu membalikkan badannya...
“Ify? Ngapain sih, lo peluk-peluk gue?” tanya cowok itu.
Ify menatap cowok itu, “Rio? Ngapain lo di sini?” Ify balik tanya. Jujur saat ini Ify bener-bener bingung.
“Harusnya gue yang tanya, ngapain lo di sini? Lo ngikutin gue ya?” tanya Rio lagi dengan nada seperti biasanya.
Tapi Ify nggak terlalu mempedulikannya. Saat ini bukan waktu yang tepat buat berantem. Ify kembali menatap bintang yang ada di tangan Rio. Ify meraih tangan Rio agar bisa melihat bintang itu dari dekat.
‘Sama!’ pikir Ify.
“Lo dapet bintang ini dari mana?”
“Bukan urusan lo!” Rio menarik tangannya dari tangan Ify.
“Tolong jawab, Yo! Kenapa lo bisa punya bintang yang sama kayak gue?” tanya Ify lagi.
Rio tercekat dan menatap Ify bingung.
“Maksud lo?”
Ify mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Lalu Ify menunjukan sebuah bintang pada Rio.
“Apa...lo itu...Vano?” tanya Ify ragu.
Rio diam terpaku menatap bintang yang dipegang Ify. Lalu pandangannya beralih ke Ify...
“Icha...?” ucap Rio pelan.
Ify tersenyum dan air matanya mulai menetes. “Iya, gue Alyssa. Gue Icha, Yo.”
Rio ikut tersenyum dan segera meraih Ify ke dalam pelukannya. Rio memeluk Ify dengan erat. Ify pun membalasnya. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut mereka. Ify dan Rio sama-sama diam sambil melepas kerinduan diantara mereka.
Rio melepaskan pelukannya dan kembali menatap Ify .
“Ternyata lo masih sama seperti dulu. Cerewet dan cengeng!” ucap Rio sambil menghapus air mata Ify dengan tangannya.”
“Biarin!” sahut Ify cuek.
“Duduk yuk!” ajak Rio yang kemudian duduk di atas rerumputan.
Ify mengangguk dan duduk di sebelah Rio. Suasana hening sesaat.
“Gimana kabar lo, Cha?” tanya Rio memecah keheningan di antara mereka.
“Basi banget sih pertanyaan lo! Panggilnya Ify aja kali, Yo!”
Rio tertawa kecil.
“Kalo lo pengen tau kabar gue sekarang, jawabannya….kabar gue buruk!”
Rio mengerutkan keningnya, “Buruk? Kenapa?”
“Iya, soalnya…belakangan ini, ada seorang cowok yang suka bikin gue kesel. Namanya Rio.”
Lagi-lagi Rio tertawa, membuat Ify tersenyum.
“Kenapa lo senyum-senyum?”
“Nggak pa-pa. Ini pertama kalinya gue liat lo ketawa. Biasanya kan lo galak banget sama gue.”
Giliran Rio yang tersenyum.
“Gue seneng banget karena akhirnya gue bisa ketemu lo lagi. Saat pertama gue tiba di Bandung, yang ada dipikiran gue cuma satu, yaitu lo. Gue berharap kalo gue bisa ketemu lo lagi. Akhirnya gue mutusin buat ke rumah lo. Tapi setelah sampai sana, rumah lo kosong. Gue tanya ke tetangga lo, katanya lo udah pindah dan nggak ada satu pun yang tau alamat lo yang baru. Saat itu gue bingung banget. Nggak tau mesti cari lo ke mana lagi.” Jelas Rio.
“Tapi sekarang lo udah ketemu gue lagi kan?”
Rio tersenyum.
“Gue kira…gue nggak akan ketemu lo lagi. Lo tau nggak, kalo selama ini…gue selalu nungguin lo, Yo. Gue sering dateng ke bukit ini, dengan harapan kalo gue akan ketemu lo di sini. Tapi hasilnya nihil. Tapi gue nggak pernah putus asa, karena gue yakin kalo lo akan kembali. Dan ternyata bener kan? Sekarang gue bisa ketemu lo lagi.” kata Ify.
“Maafin gue ya, yang udah bikin lo nunggu selama ini…”
“Gue akan maafin lo, tapi asal lo mau janji satu hal.”
“Apa?”
“Lo harus janji, kalo lo nggak akan ninggalin gue lagi.”
Rio tersenyum sambil meraih tangan Ify dan menggenggamnya erat. Rio menatap Ify dalam-dalam.
“Tanpa lo minta pun, gue udah berjanji sama diri gue sendiri, kalo gue nggak akan ninggalin lo lagi. Gue akan selalu jagain lo dan gue juga pengen selalu ada di samping lo. Gue sayang sama lo, Fy…” ucap Rio sungguh-sungguh.
Ify tersenyum dan matanya berkaca-kaca.
“Gue juga sayang sama lo, Yo…”
Sore pun berganti malam. Bintang-bintang mulai terlihat di langit luas.
“Itu bintang punya kita udah muncul, Yo.” Kata Ify senang sambil menunjuk salah satu bintang.
“Lo masih inget?”
“Ya masih lah…dan akan selalu gue inget. Kalo gue lagi kangen sama lo, gue pasti selalu liat bintang pemberian lo dulu.”
Rio dan Ify sama-sama diam sambil menatap langit.
“Ada bintang jatuh, Fy! Cepet bikin permohonan!” seru Rio.
Sama seperti dulu, Ify mengikuti kata-kata Rio. Ify memejamkan matanya sambil mengucap sebuah permohonan dalam hati.
Berbeda dengan Rio. Saat itu Rio tidak membuat sebuah permohonan, melainkan hanya memandang wajah Ify yang sedang memejamkan matanya. Rio tersenyum. Rio mendekatkan wajahnya ke wajah Ify. Dan…Rio mencium pipi Ify dengan lembut.
Ify kaget dan langsung membuka matanya. Ify memegang pipinya. Pipinya memerah.
“Riooo…! Sifat kamu juga masih belum berubah ya? Suka seenaknya sendiri! Main nyosor aja lagi!” kata Ify sambil pasang tampang cemberut.
“Hahahaha….muka lo lucu tau nggak, kalo lagi malu gitu.”
Ify nggak menanggapinya.
“Tadi lo minta apa?” tanya Rio kemudian.
“Tadi…ehm…gue minta….” kata Ify terpotong.
“Biar Icha sama Vano bisa sama-sama terus, sampai kita menikah?” Rio melanjutkan.
Ify menunduk malu dan mengangguk.
“Dasar bodoh!”
“Kenapa?”
“Ngapain lo minta itu lagi? Padahal udah jelas-jelas kita mau dijodohin. Jadi cepat atau lambat, kita akan menikah kan? Dan dengan kata lain, permintaan lo dulu itu akan dikabulkan.”
“Mmm…tapi…bukannya kemarin kita sepakat buat menolak perjodohan itu ya?” tanya Ify polos.
Rio menghela napas kesal dan berdiri.
“Lo mau ke mana?” tanya Ify.
“Pulang. Sekarang kita bilang ke orang tua kita, kalo kita setuju sama perjodohan itu.”
“Lo serius?”
“Cerewet lo! Buruan!” Rio mengulurkan tangannya pada Ify.
Ify tersenyum dan meraih uluran tangan Rio. Baru pernah dia merasakan kebehagiaan seperti ini. Bersama seseorang yang sangat dia sayang. Ternyata penantiannya selama ini nggak sia-sia. Vano telah kembali. Dan Ify nggak akan membiarkan Vano pergi lagi.
“Eh, Fy….tadi…gue cium pipi lo yang sebelah mana?” tanya Rio saat mereka sedang berjalan menuju mobil Rio.
“Mmm…yang kiri.” Jawab Ify polos.
“Berarti ada yang ngiri dong?” tanya Rio sambil tersenyum jail.
Ify menghentikan langkahnya dan menatap Rio takut. Ify mundur selangkah. Sepertinya Ify sudah mengerti maksud Rio.
“Fy, ada bintang jatuh lagi tuh!” Rio menunjuk langit.
Ify mendongak dan menatap langit. Tepat pada saat itu, Rio mengambil kesempatan untuk mencium pipi Ify yang sebelah kanan.
“Yes, dapet!” seru Rio yang kemudian berlari meninggalkan Ify.
Ify melotot dan mulutnya ternganga.
“RIOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!!!!!!!!!!”



-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...